Ekonomi Syariah bukan Versus Ekonomi Konvensional

Saya tertarik dengan tulisan saudara Adiwarman Karim pada kolom analisisi di koran ini beberapa waktu lalu, sekaligus beberapa fenomena perkembangan mutakhir ‘ekonomi syariah’. Tulisan berjudul Konvensinalkah bank konvensional? dan kegiatan temu tokoh ekonomi syariah yang mengangkat tema dual economic system, bila disimak kedua tema tersebut memiliki kadar yang hampir berimbang. Sedikit provokatif dan terkesan dikotomis. Entah bagaimana istilah dual banking system perbankan itu telah merembes menjadi sebuah mainstream baru. Yang secara tidak sengaja telah menggiring pemikiran yang serba paradoks. Ada bank syariah-ada, bank konvesional, ada asuransi syariah, ada asuransi konvensional, ada hotel syariah, mungkin ada hotel konvensional dan seterusnya.

Benar memang, secara harfiah kata ‘konvensional’ berasal dari kata convention yang berarti kesepakatan. Namun bila ‘ditafsir’ berdasarkan substansi dan kronologisnya, kata tersebut sudah berkonotasi menjadi beberapa pengertian, bisa berarti konvensional sebagai lawan dari mutakhir, atau konvensional yang berarti ‘yang biasa’ sebagai lawan ‘yang luar biasa’, bahkan konvensional bisa diartikan lebih sinis lagi sebagai sesuatu yang ‘ketinggalan’ sebagai lawan dari uptode. Jika demikian maka yang terjadi adalah menghadapkan secara vis a vis antara syariah dan konvensional, yang tentu akan mengundang sentimen golongan yang pada gilirannya akan kontraproduktif dengan misi ‘perbaikan sistem ekonomi’ sebagai salah satu amanah dan tujuan syariah.

Lebih sekedar ‘Brand’
Syariah memang bisa menjadi brand atau merek, tetapi sharia bukanlah sekedar brand. Pemahaman pembagian ajaran Islam manjadi tiga bidang garapan yakni syariah, akhlak dan aqidah, bukanlah berarti implementasi ketiga bidang tersebut dapat berdiri sendiri-sendiri. Dalam konteks syariah pada aktivitas ibadah makhdah maupun ghairu makhdah termasuk di dalamnya adalah aktivitas muamalah, maka bidang aqidah Islam dan akhlaq Islam akan senantiasa menyertai dan menjiwai aktivitas muamalah tersebut. Sehingga, sangatlah naif, apabila dengan dalih rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam), praktik ekonomi syariah bisa dilaksanakan oleh siapa saja dan tentang apa saja, seolah-olah syariah nir-aqidah dan nir-akhlaq.

Muamalah sebagai satu bidang kajian tersendiri, memang merupakan aktivitas (baca: ibadah) horisontal antarsesama makhluk Allah di muka bumi, antara Muslim dan non-Muslim, ataupun dengan makhluqktak bernyawa sekalipun, dalam rangka menegakkan keimanan (tauhid) kepada Allah yang dilakukan secara etis humanis (akhlaqul islam). Dus, mengoperasionalkan cafe ’syariah’ yang menjual minuman berakohol nol persen, ataupun melakukan ‘mirorring’ produk bank atau kegiatan ekonomi yang kemudian di-branded dengan syariah bukanlah perbuatan terlarang. Karena sesungguhnya ’syariah’ itu adalah sesuatu yang substantif di mata manusia begitupun di mata Sang Khaliq. Berpihak pada keadilan, kemanfaatan, transparan, dan peduli sesama makhluq Allah secara etis adalah substansi syariah yang harus menjelma pada seluruh aktivitas, transaksi maupun pengelolaan sumberdaya ekonomi di bumi. Tanpa harus diberi ‘cap’ syariah, seluruh produk sepanjang tidak dilarang syariah dan dikelola secara etik syariah akan memberikan solusi bagi kesejahteraan masyarakat banyak.

Bukan dual economic system
Pengelolaan sumberdaya ekonomi bagi kemaslahatan masyarakat yang dilakukan dengan sistem yang berideologi syariah tentu akan memberikan solusi dan perbaikan secara utuh dan final. Dengan demikian kita memerlukan satu sistem ekonomi, bukan dual system ekonomi. Sistem yang buruk mesti ditinggalkan, tidak boleh dipelihara. Kerjakan yang bai-baik aja, sambil secara bertahap meninggalkan yang kurang memberi manfaat. Itulah sebabnya sistem ekonomi yang ada tidak boleh sektoral, seluruh aspek harus disentuh secara merata dan terintegrasi.

Bagian besar kue ekonomi adalah sektor riil, dan sebagian lainnya adalah sektor finansial, sebagai sistem pendukungnya. Sejarah kehadiran perbankan syariah di Indonesia memang sebuah fenomena sebagai institusi syariah perintis.

Tetapi perbankan syariah bukan segalanya, hanya kebetulan menjadi pintu masuk bagi gerakan ekonomi berbasis syariah. Sebagian besar tokoh ekonomi syariah, secara kebetulan juga berasal dari sektor keuangan dan perbankan, dan beberapa ulama yang ikut berperan aktif di dalamnya. Keinginan untuk berekspansi dan mensyariahkan segala bentuk aktivitas sektor riil dengan menggulirkan ide dual ekonomi syariah itulah yang akan menjadi persoalan baru.

Perdebatan madzab ekonomi bukanlah barang baru, bahkan hal tersebut diperlukan dalam rangka mencari solusi mengenai model pengeleloaan aktivitas ekonomi terbaik. Ekonomi Pancasila yang pernah diidentikkan sebagai ekonomi kerakyatan oleh almarhum Prof Mubyarto, bisa jadi merupakan ekonomi syariah. Demikian pula ekonomi koperasi, yang konon merupakan jiwa UUD 45.

Ekonomi shariah, satu yang komperhensif
” Kamu lebih tahu tentang urusan duniamu” , sabda nabi ini menegaskan kembali bahwa ruang ‘muamalah istiqadiyah’ - hubungan ekonomi horisontal sangatlah luas, sehingga kita diperkenankan melakukan apapun sepanjang tidak dilarang oleh syariah. “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari padaNya …” ( Qs: 45 ayat 13).

Dihamparkan bumi dan dibentangkannya langit, memang diperuntukkan bagi manusia dalam rangka melaksanakan misi kekalifahannya. Silakan eksplorasi alam dan kekayaaan di dalamnya dengan teknologi super canggih sekalipun, tetapi ingatlah selalu bahwa engkau akan kembali kepada Allah, dan dikanan kirimu ada tetangga serta saudara-saudaramu, ingatlah ada orang lain di sana.

Ekonomi bukanlah tujuan, ia adalah sarana, sehingga diperlukan harmonisasi dan kompromi-kompromi kebaikan. Oleh karenanya dalam surat yang sama Allah berfirman ” Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu ’syariat’ (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui” ( Qs; 45 ayat 18). Dengan demikian, menurut ayat ini, lawan ekonomi syariah adalah sistem ekonomi yang memperturutkan hawa nafsu belaka. Ekonomi yang sangat memuja ‘kapital-dunia’ berikut derivasi kenikmatan semunya.

Cara pandang yang komperhensif terhadap aspek kehidupan merupakan salah satu ciri ekonomi syariah. Dalam berdagang kita boleh untung, tetapi tanpa merugikan pihak lain, kita boleh mengambil sumberdaya alam apapun, tanpa merusak ekosistem. Pelanggaran-pelanggaran kepada nilai-nilai tersebut ‘pasti’ akan merugikan kepentingan publik yang lebih besar. Oleh karena itu makna antarradin minkum dalam bertransaksi haruslah berarti para pihak harus ikhlas dan senang, dan pihak ketigapun (publik) tidak dirugikan dengan transaksi tersebut. Pembodohan publik melalui praktik window dressing, mark up project, korupsi dan sejenisnya sangatlah bertentangan dengan substansi syariah.

Aroma sejuk ekonomi shariah
Sudah menjadi kodrat, setiap kebaikan pasti akan berhadapan dengan kejahatan. Rasullullah membawa ‘cahaya terang’ penuh dengan tantangan, peperangan demi peperangan dilalui beliau dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Tidak ada dendam dalam perang, apalagi marah dan tersinggung dalam perjuangan. Sikap amar ma’ruf nahi munkar senantiasa tercermin dalam aktivitas dakwah beliau, Assida’ul ala kufar, ruhama bainahum, keras pada yang kafir- dan kasih sayang dengan sesama.

Kita maklum bahwa ekonomi dunia saat ini didominasi oleh ‘ekonomi nafsu’. Segelintir pemilik modal, kapitalis itu memiliki pengaruh yang luar biasa, dan menindas banyak orang. Oleh karenanya diperlukan energi yang besar dan nafas yang panjang untuk memeranginya. Keikhlasan dan kesabaran adalan kuncinya. Ikhlas akan membawa kita untuk menemukan cara-cara yang sejuk dan bernas, sementara sabar akan menuntun kita untuk tetap istiqomah dan tidak saling menyalahkan. Kita mendukung pengembangan institusi, infrastruktur, perangkat perundangan berbasis syariah. Di sisi lain kita mempersiapkan, dan mengisi lembaga-lembaga ekonomi dengan orang-orang yang bersih dari moral hazard untuk menggali potensi kekayaan alam dan mengelolanya dengan benar, yang rela menggantungkan pada sistem ilahiyah yang rahmatan lil’alamin. Wallahu a’lam.

SUMBER:

Juni 21st, 2007 pada 10:23 am (Artikel)

Wahyu Dwi Agung

Praktisi Syariah

Saduran : http://www.republika.com

Senin, 04 Juli 2005

0 komentar:

Posting Komentar